Thursday 5 March 2015

Cerpen; teman masa kecil

Namaku Ariya, sekarang aku kuliah di sebuah universitas swasta di ibu kota. Aku punya seorang teman, kami berteman jauh sebelum kami sama2 masuk TK, nama temanku Rossa, orang sekelilingnya biasa memanggilnya Ocha, begitupun denganku. Kami sangat dekat, keluarga kami pun dekat. Kami selalu masuk ke sekolah yang sama sejak TK hingga perguruan tinggi sekarang. Meskipun jurusan yang kami ambil berbeda. Di waktu senggang Ocha mengikuti ajang modeling hingga sekarang cukup terkenal di kalangan cowok-cowok kampus. Memang sih, wajahnya tidak terlalu cantik tapi cukup manis untukku, rambut panjang bergelombang di bagian bawahnya, dan gingsul yang membuatnya menawan saat tersenyum, tubuhnya tinggi dan kulitnya putih. Tapi tidak ada orang yang sempurna, termasuk Ocha....

“Ariyaaaaa...” suara yang sangat familiar di telingaku, siapa lagi selain sahabatku Ocha. Dengan kebiasaannya memeluk orang. Siapa saja termasuk aku, yg sekarang d peluknya erat sampai sesak rasanya.

“Ocha-ga-bisa-nafas” ucapku sambil membuka mulutku mencoba menghirup oksigen yg hilang entah kemana dari paru-paruku karena serangan mendadak Ocha.

“ariya kenapa baca buku di bawah pohon? Perpus penuh?” tanya Ocha lugu.

“harus berapa juta kali lagi di kasih tau?! Jangan peluk orang begitu. Kita kan udah bukan anak-anak lagi bikin orang mikir yang macam-macam kan” rutukku kesal, yang benar saja, sejauh yang kuingat dia selalu memeluk orang, entah apa yg membuatnya begitu. Dulu aku tidak terganggu, sampai kami berangsur-angsur tumbuh dewasa hal itu bukan hal yang bisa ku tolerir lagi.

“haha kebiasaan” ucapnya sembari tersenyum lebar padaku, membuatnya nampak seperti anak-anak.

“ada apa?” tanyaku dingin.

“Cuma mau nyapa aja, oia Ariya, cewek pake tas abu-abu disana ngeliatin kita kok sinis gitu ya daritadi?” tanya Ocha. Tanyannya menunjuk ke orang yg ia maksud. Pandanganku mengikuti arah yg di tunjukannya. Dan, luar biasa! yg melihat adegan pelukan sialan itu Shari teman satu fakultas ku yang akhir-akhir ini sedang gencarnya aku dekati dan hubungan kami sudah sangat dekat, hanya tinggal menunggu waktu saja sampai aku mengungkapkan perasaanku padanya. Dan bisa di tebak apa yg terjadi selanjutnya. Shari sudah tidak mau bicara lagi denganku.

Kebiasaan Ocha yang suka memeluk itu sungguh menyebalkan. Kejadian dengan Sharii bukan yg pertama terjadi, saat SMA aku pernah di bully oleh anak laki-laki yg diam-diam suka pada Ocha karena kebiasaan Ocha memeluk dimanapun dan kapanpun itu.
Sampai Suatu hari sepulang kegiatan kampus aku pulang mengendarai motorku. Perjalanan menuju tempat kos ku tidak begitu jauh namun melewati tempat yang sepi samping rel kereta api. Aku tidak berfikir macam-macam saat 2 orang dengan sepeda motor mengikutiku dari belakang membuatku menghentikan laju motorku. Pengendara motor itu pun berhenti. Karena suasana yang gelap aku baru sadar bahwa salah satu diantara mereka membawa bat (pemukul bola basseball) siap di ayunkan ke arahku. Sekali, dua kali aku behasil menghindar sampai akhirnya aku di pukuli hingga jatuh tersungkur. Salah satu pukulannya mengenai kepalaku, seketika pandanganku kabur namun sebelum aku hilang kesadaran aku sempat mendengar gumaman mereka.

“ga ada yg boleh dekat-dekat sama Rossa-ku” dan semuanya gelap sekarang

Aku terbangun d rumah sakit, mendengar suara oranngtua ku bicara dengan beberapa orang polisi. Dari pembicaraan mereka aku tahu kalau yang melakukan pemukulan padaku adalah fans dari Rossa. Mereka mengikuti Rossa kemanapun diam-diam.

“sudah cukup” batinku. “ini sudah keterlaluan, mungkin kami berteman baik dan sangat cocok bersahabat sejak kecil, namun tidak begitu saat kita sudah dewasa, aku akan lakukan sesuatu, apapun, meski harus memutuskan persahabatanku”

Dan disinilah aku. Di sebuah taman bersama sahabat masa kecilku yang sebentar lagi akan menjadi bukan siapa-siapaku. Ocha menaiki sebuah ayunan sambil menikmati es krim nya. Aku berdiri d dekatnya bersiap mengatakan yang ku fikir yang terbaik untuk kami berdua.

“jadii,,,?! Apa yang mau di omongin?” tanya Ocha tubuhnya mengayun pelan di ayunan. Tatapannya masih tertuju ke es krim stroberi nya.

“Cha, Gue  rasa kita ga usah ketemu lagi” ucapku dingin. Ocha menatapku terkejut.

“Ariya masih marah soal Stalker itu?” tanyanya. Kini dia berhenti berayun, menatapku bingung.

“bukan Cuma itu, sejak dulu kebiasaan lo tuh ga pernah berubah” aku menarik nafas, bersiap menumpahkan semua yang ku tahan sejak lama. “kebiasaan lo bikin gue frustasi, banyak hal buruk yang terjadi gara-gara
kebiasaan aneh lo itu. Cewe yg gue suka jadi acuh sama gue, gue d bully waktu SMA sama fans-fans lo, dan kmaren gue masuk rumah sakit gara-gara stalker lo itu. Buat gue ini bukan hal yang bisa gue sabarin lagi”

“maaf ya Ariya, Ocha ga tau. Tapi Ocha sayang sama Ariya” Ocha berhenti sejenak, matanya menatap es krim yg meleleh ke jarinya mencoba menahan isaknya. “Ariya teman pertama Ocha” ucapan sederhana, sangat sederhana diucapkan sahabat masa kecilku. Dinding yang susah payah aku buat untuk mengakhiri persahabatan kami runtuh seketika..

“AAAAARGGGHHHH SIAL SIAL SIAL” umpatku frustasi. Tanganku mencengkram kepalaku seolah ia akan pecah kapan saja. Ocha menatapku terkejut.

“lagian, cha.. siapa sih orang bego yang ngajarin lo buat selalu meluk orang begitu?” racau ku. Aku duduk d ayunan samping Ocha yg kini tersenyum padaku dengan sisa airmata yang menetes d pipinya.

Seketika ingatan itu muncul, ingatan yang lama terlupakan saat dimana aku masih kecil, aku bermain di sebuah taman bersama seorang gadis kecil seusiaku aku berburu serangga disana. Aku tidak tau nama gadis itu dan tidak ada satupun anak di lingkungan ku yang mau berteman dengannya, yang ku tahu dia suka berburu serangga, setiap ia berhasil menangkap satu ia akan melukai serangga itu, entah memotong sayapnya atau menghancurkannya dengan batu.

Entah tangkapannya yang ke berapa hari itu ia berhasil menangkap seekor capung, sesaat sebelum dia menarik lepas sayap capung itu aku menghentikannya.

“jangan, kasihan kan dia” ucapku sambil memegang pergelangan tangannya


“kenapa?” tanya gadis itu.

“nanti dia mati”

“memangnya kenapa kalau dia mati? Mati itu gak hidup kan” matanya menatapku sinis.

“hidup itu berharga tau!!” bentakku.

“dia gak berguna, memangnya hidup itu kaya apa?” ucapnya dingin

“hidup itu..” aku berhenti, bingung apa yang harus ku katakan, aku sendiri tidak mengerti “hidup itu seperti iniii”
ucapku spontan memeluknya.

“aku gak ngerti” ucapnya dengan nada datar yang sama

“bagaimana rasanya? Hangat kan?” tanyaku melepaskan pelukanku dan tersenyum padanya

“iyaa. Hangat, menyenangkan” jawabnya dengan tatapan bingung ditujukan padaku.

“nah, itulah hidup, jadi kau harus biarkan dia hidup. Supaya dia bisa memberi kehangatan kepada teman-
temannya yang lain.” Ucapku. Gadis itu menatapku terkejut kemudian menggumamkan sebuah kata.

“teman?” ucapnya. “aku ga punya teman”

“kau ngomong apa? Aku baru saja memelukmu berarti kita teman kan” ucapku sambil mengulurkan tangan ku
“Ariya, namamu?”

“Rossa_umm Ocha” ucapnya riang dia pun tersenyum, senyuman pertamanya yang kulihat. Senyuman yang sama yang kulihat sekarang. Senyuman yang mengembang di Rosa yang sekarang duduk di ayunan di sampingku. Bayangan masalalu seperti film yang diputar itu pun berheti. Membawaku ke masa sekarang, masa dimana hampir aku kehilangan sahabatku.

~~~~~

“K.A.M.U” ucap Ocha seraya menyeka air matanya. “kamu yang ngajarin aku meluk Ariya”

“hahhhh..... ya udah lupain aja gue bilang kek tadi, es krim mu meleleh tuh” ucapku seraya memalingkan wajahku.

“wah iyaaa... sayang banget padahal Ocha baru makan sedikit” keluhnya, tangannya membersihkan lelehan es krim dengan tissue.

“yaudah gue traktir, kita beli yg baru” ucapku seraya bangkit dari ayunan dan berjalan menuju toko es krim terdekat. “cepetan tar gue tinggal nih”

“iya bentar Ariya, pelan-pelan, Ocha pake Wedges tauuu” keluhnya manja, sembari mengejarku.

~the end~

No comments:

Post a Comment